Archive for March, 2010

Maksud saya begini. Misalnya kita sedang sedang dekat dengan seseorang, bisa dibilang pacar lah, dan kita sedang dilanda romansa, jatuh cinta, diliput rindu, dan lain sebagainya, maka perilaku kita kepadanya menjadi super-duper manis secara maksimal. Tak percaya? coba ingat-ingat, kalau sedang gencar-gencarnya melakukan pendekatan atau berada dalam masa-masa “bulan madu” pacaran, seberapa sering kamu menanyakan kepada pasangan, lagi apa? sudah makan atau belum? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang apabila sekiranya tidak kita kirim melalui SMS, maka kita akan berbicara di telepon dengan nada yang sangat lembut dan penuh cinta.

Bandingkan perilaku kita kepada orang tua. Apabila kita menelepon si pacar, kita mengucapkan salam saja dengan nada sayang lengkap dengan bibir yang tersenyum walau si pacar tidak mungkin bisa melihatnya. “Assalamualaikum sayang…. sudah bangun?” sedangkan kalau ke orang tua? “Samolekum! Mah?! lagi ngapain?!” Lalu misalnya orang tua kita hendak pergi, tanyakan diri sendiri, manakah yang lebih sering, kita ucapkan “hati-hati dijalan” kepada orang tua, ataukah kepada pacar? belum lagi kepada saudara kita, adik atau kakak misalnya. Mengapa rasanya berat sekali atau merasa gengsi yang luar biasa tinggi ketika kita harus mengucapkan hal sesederhana itu kepada orang yang kenal dengan kita hampir seumur hidup? terlalu memalukan? ataukah sudah dianggap biasa? Padahal pengucapan “hati-hati di jalan” itu lebih dari sekadar kalimat menurut saya. Di dalamnya ada doa! di dalamnya mengandung perhatian! Kasih sayang! cinta! peduli! dan lain-lain. Dan apakah ketika mereka sudah sampai tujuan, sekalipun terbersit keinginan mengecek apakah mereka sudah sampai? apakah tadi di jalan menemui kesukaran? seberapa lamakah perjalanan? oh… bandingkan lagi perlakuan kita dengan pacar. Kita telepon atau SMS berkali-kali “jangan lupa sms kalau sudah sampai.” atau “udah sampe belum?” dan baru tenang ketika kita mendapat kepastian kalau pacar kita sudah tiba selamat sampai rumah.

Lalu apa yang terjadi apabila masa-masa bulan madu berpacaran telah usai? biasanya sih, percikan asmara yang dulu-dulu ada mulai berkurang. Entah mengapa, toleransi kita sekarang terhadap pacar juga mulai berbatas. Apakah mungkin dikarenakan perasaan “kau sudah aku miliki – aku sudah kau miliki”, akhirnya semua itu dianggap lazim, biasa saja, tak ada usaha mempertahankan, dan lain sebagainya. Mengapa kemudian kita lebih gampang murka terhadap kesalahan sang pacar? luar biasa sulit memaafkan, memaklumi, atau tolerir terhadap sesuatu kesalahan kecil yang apabila dilakukan orang lain, teman misalnya, kita dengan gampang akan melupakannya. Kemudian, kita juga mendadak gampang menghukum pacar lebih berat. Tak membalas sms, tak mengangkat telepon, berbicara ketus, ngambek tiba-tiba, dan lain-lain. Oh Tuhan! apakah memang demikian gunanya seorang pacar? lalu mengapa seringkali kita merasa lebih tak enakan terhadap perasaan teman apabila kita tidak membalas sms atau menjawab teleponnya?

Pada akhirnya, tak peduli siapapun dia, pacar, keluarga, sahabat, dan orang-orang lain yang kita sayangi. Tak sepantasnya kita membeda-medakan dalam mengekspresikan kasih sayang kita kepada mereka. Jangan sampai kita berlaku manis atau menunjukkan perhatian hanya dikarenakan ada tujuan yang hendak kita capai. Walau rasanya malas, berusahalah mengekspresikan, minimal dalam bentuk ucapan. Saya bisa dibilang sedang berusaha, berusaha menjadi manusia yang lebih baik untuk orang-orang di sekitar saya. Berusaha untuk tidak gampang “menghukum” orang yang kita cintai. Sungguh… saya hanya merasa, alangkah tak adilnya, kita bisa bersikap ramah di tempat umum dengan orang yang baru saja kita temui, sedangkan kita tak bisa memberikan sikap terbaik kita terhadap orang yang kita sayangi.

-penghuni gerbong tiga-